Stasiun Kereta, 2009.
Pagi
itu, di tempat yang penuh sesak manusia. Dengan seribu suara penuh harapan.
Seru dan terburu. Dalam suasana sibuk dan seluruh manusia yang aku saksikan.
Aku terduduk di antara mereka. Santai. Tapi berharap –juga. Dari deru pengeras
suara yang terpasang tepat diatasku, dari situlah aku yakin dengan pasti; kamu
akan datang. Bisa kubayangkan, sosok tinggi besarmu turun dari ulat besi dan
menggendong ransel biru favoritmu. Ahh, itu yang setiap minggu aku nantikan.
Dari Elizabeth Arden hitam di pergelangan tangan mungilku, jarumnya menunjukkan
pukul 09.00. Tak lama kemudian, si ulat besi yang sudah kunantikan pun tiba.
Hey! Aku masih setia menantimu. Jeritku dalam hati. Aku sangan tidak sabar.
Kurapikan rambut panjangku didepan kaca toilet. Ya, sudah rapi –menurutku.
Ketika
keretamu berhenti, dan aku melihatmu. Seketika kedua pipi tirusku terus
berkembang. Ini buatmu, lho.
Dari
seluruh manusia di tempat ini, aku beranggapan mungkin hanya aku yang sedang
bahagia. Sebenarnya biasa. Tapi biarlah, aku seneng kok.
Ketahuilah,
kangen ini tidak tertempuh apapun. Kecuali pertemuan kita.
Bisa
dibilang, hati itu ibarat ‘stasiun kereta’ tempatmu singgah. Bahkan, hatiku
bisa jadi rumah ternyaman untukmu pulang.